Colegal Indonesia: 3 Contoh Perusahaan yang Bangkrut di Indonesia dan Penyebabnya, Padahal Dulu Terkenal!

Kebangkrutan perusahaan bukanlah hal yang langka di dunia bisnis. Bahkan, perusahaan besar yang pernah berjaya pun bisa mengalami kejatuhan akibat berbagai faktor. Berikut ini adalah tiga contoh perusahaan di Indonesia yang mengalami kebangkrutan, beserta penyebab dan aspek hukumnya:

1. Sritex – Bangkrut Akibat Beban Utang yang Terus Membengkak

PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang bahkan mendunia. Perusahaan ini dikenal sebagai pemasok kain dan pakaian militer untuk beberapa negara.

Penyebab Bangkrut:

  • Gagal Membayar Utang: Sritex mengalami gagal bayar terhadap krediturnya, sehingga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dalam Putusan No. 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
  • Utang yang Terus Bertambah: Per Maret 2024, utangnya mencapai US$ 31,67 juta, meningkat dari tahun sebelumnya.
  • Restrukturisasi Utang yang Tidak Efektif: Sritex sempat melakukan restrukturisasi surat utang jangka pendek (MTN), namun gagal memperbaiki kondisi keuangan perusahaan.
  • Penurunan Permintaan Pasar: Dengan banyaknya kompetitor dan tren tekstil yang berubah, permintaan terhadap produk Sritex menurun drastis.

Aspek Hukum:

  • Kepailitan Sritex diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit apabila memiliki minimal dua kreditur dan tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo.
  • Hak kreditur atas aset Sritex diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan bahwa semua aset debitur menjadi jaminan bagi krediturnya.

2. PT Nyonya Meneer – Konflik Internal dan Utang yang Menghancurkan Bisnis Legendaris

PT Nyonya Meneer adalah salah satu perusahaan jamu legendaris di Indonesia yang berdiri sejak 1919. Perusahaan ini dikenal dengan produk herbalnya yang berbasis ramuan tradisional Jawa.

Penyebab Bangkrut:

  • Konflik Internal: Sejak 1984, terjadi ketidaksepakatan dalam manajemen yang menyebabkan ketidakstabilan perusahaan.
  • Beban Utang yang Besar: Perusahaan terlilit utang hingga Rp 267 miliar, yang akhirnya tidak dapat dibayarkan.
  • Kurangnya Inovasi: Di tengah meningkatnya minat masyarakat terhadap obat herbal berbasis riset modern, Nyonya Meneer gagal menyesuaikan diri dengan tren pasar
  • Penurunan Penjualan: Produk jamu Nyonya Meneer mulai kalah saing dengan produk herbal modern dan suplemen kesehatan berbasis ilmiah.

Aspek Hukum:

  • Pengadilan Niaga Semarang menetapkan kepailitan PT Nyonya Meneer berdasarkan putusan pailit pada 2017, sesuai dengan Pasal 225 UU Kepailitan tentang eksekusi putusan dalam perkara kepailitan.
  • Pihak kreditur dapat mengajukan hak tagih melalui kurator, sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yang mengatur bahwa seluruh harta pailit akan dibagi secara proporsional kepada kreditur.

3. Giant – Tidak Mampu Bersaing di Era E-Commerce dan Minimarket

Giant adalah jaringan ritel berbasis hypermarket yang menawarkan harga murah untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai bagian dari Hero Group, Giant pernah memiliki ratusan gerai di berbagai kota.

Penyebab Bangkrut:

  • Persaingan Ketat dengan Minimarket: Konsumen lebih memilih belanja di Alfamart dan Indomaret, yang memiliki lebih banyak gerai dan lebih mudah dijangkau.
  • Perubahan Tren Belanja: Masyarakat mulai beralih ke belanja online melalui e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada, yang menawarkan harga lebih kompetitif.
  • Daya Beli Menurun: Sejak 2015, penjualan Giant terus turun, ditambah dengan dampak pandemi COVID-19 yang memperparah kondisi keuangan.
  • Biaya Operasional yang Tinggi: Sewa tempat di pusat perbelanjaan dan biaya tenaga kerja semakin mahal, membuat Giant sulit mempertahankan bisnisnya.

Aspek Hukum:

  • Penutupan gerai Giant tidak melalui proses kepailitan di pengadilan, tetapi lebih pada keputusan bisnis dari pemegang saham.

Ketiga kasus di atas menunjukkan bahwa kebangkrutan perusahaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari manajemen keuangan yang buruk, konflik internal, kurangnya inovasi, hingga ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan pasar. Penting bagi setiap pelaku usaha untuk terus memantau kondisi internal dan eksternal perusahaan serta melakukan penyesuaian strategi bisnis secara tepat waktu.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*