
Sengketa hak merek di Indonesia merupakan isu yang sering muncul seiring dengan meningkatnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Berikut adalah tiga contoh kasus sengketa hak merek di Indonesia yang menarik perhatian publik dan bagaimana penyelesaiannya dilakukan:
1. MS Glow vs PS Glow
Kasus ini melibatkan dua perusahaan kosmetik, MS Glow yang dimiliki oleh Shandy Purnamasari dan Gilang Widya Pramana (Juragan 99), serta PS Glow yang dimiliki oleh Putra Siregar dan istrinya, Septia Siregar. MS Glow menggugat PS Glow karena merasa nama merek PS Glow sangat mirip dengan merek mereka, MS Glow.
Pada awalnya, MS Glow mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Medan pada Maret 2022, dan dalam putusannya pada Juni 2022, PN Medan memenangkan MS Glow dengan menyatakan bahwa PS Glow melanggar hak eksklusif MS Glow. Namun, setelah itu, PS Glow mengajukan gugatan balasan di Pengadilan Niaga Surabaya, dan pada Juli 2022, PN Surabaya memenangkan PS Glow dengan perintah kepada MS Glow untuk membayar ganti rugi sebesar Rp37,9 miliar dan menarik seluruh produk MS Glow yang beredar. MS Glow kemudian mengajukan kasasi, dan sengketa ini masih berlangsung.
2. Starbucks vs Rokok Starbucks
Sengketa ini terjadi antara Starbucks, kedai kopi terkenal asal Amerika Serikat, dengan Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) yang mendaftarkan merek “Starbucks” untuk produk rokok mereka. Starbucks mengklaim bahwa penggunaan nama “Starbucks” untuk rokok oleh STTC dapat menyebabkan kebingungan konsumen, karena nama tersebut sudah sangat identik dengan merek kedai kopi yang terkenal di seluruh dunia.
Pada awalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Starbucks dengan alasan bahwa kedua merek tersebut berada pada kelas yang berbeda dan STTC mendaftar terlebih dahulu. Namun, Starbucks mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung memenangkan Starbucks dengan mempertimbangkan bahwa merek “Starbucks” milik STTC memiliki persamaan yang cukup signifikan dalam hal bunyi dan penulisan dengan merek “Starbucks” milik kedai kopi. Mahkamah Agung juga menilai bahwa pendaftaran merek STTC dilakukan dengan itikad tidak baik, karena berpotensi menyesatkan konsumen. Permohonan peninjauan kembali dari STTC ditolak oleh Mahkamah Agung, dan Starbucks tetap diakui sebagai pemilik sah merek tersebut.
3. Chacha Lokal vs CHACHA Milik Delfi Swiss
Kasus sengketa ini melibatkan dua pihak dalam industri makanan, yaitu Chacha Lokal, sebuah merek produk camilan lokal, dan CHACHA yang dimiliki oleh Delfi Swiss, produsen permen terkenal. Chacha Lokal menggugat merek CHACHA milik Delfi Swiss, yang dianggap memiliki kemiripan signifikan dalam hal penulisan dan pengucapan, yang dapat membingungkan konsumen.
Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Niaga, pengadilan memutuskan bahwa meskipun ada kemiripan dalam hal penulisan dan penyebutan nama merek, kedua merek tersebut beroperasi di pasar yang berbeda. Chacha Lokal berada di sektor camilan, sedangkan CHACHA dari Delfi Swiss merupakan produk permen. Pengadilan Niaga menilai bahwa keduanya tidak akan membingungkan konsumen, mengingat keduanya juga terdaftar pada kelas yang berbeda di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Dengan demikian, gugatan Chacha Lokal ditolak, dan Delfi Swiss tetap berhak atas merek CHACHA.
Ketiga kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa merek dapat terjadi meskipun merek telah terdaftar secara resmi. Penting bagi pelaku usaha untuk memastikan bahwa merek yang digunakan tidak memiliki kemiripan dengan merek lain yang sudah ada, serta mendaftarkan merek dengan itikad baik. Selain itu, memahami kelas merek dan perbedaan produk atau jasa yang ditawarkan juga menjadi faktor penting dalam menghindari sengketa.
Leave a Reply