
Nama sebuah grup musik bukan sekadar identitas. Ia bisa menjadi merek dagang yang bernilai secara ekonomi dan emosional. Kasus sengketa nama Band Kotak, yang menyeret anggota lamanya ke meja hijau, menjadi bukti bahwa pengabaian terhadap perlindungan hukum bisa berujung pada konflik serius. Di tengah maraknya kreativitas di industri musik dan hiburan, kasus ini membuka mata publik bahwa perlindungan hukum terhadap nama dan merek sangat penting — bahkan di antara rekan satu tim.
Kasus ini menyentuh aspek penting dari sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia, terutama mengenai prinsip first to file, yaitu siapa yang pertama kali mendaftarkan merek, maka ia yang diakui secara sah sebagai pemiliknya — meskipun orang lain lebih dulu menggunakan nama tersebut.
Latar Belakang Kasus Sengketa Band Kotak
Band Kotak berdiri pada tahun 2004 lewat ajang pencarian bakat televisi. Formasi awalnya terdiri dari Pare (vokal), Icez (bass), Cella (gitar), dan Posan (drum). Seiring waktu, band ini mengalami perubahan personel dan tetap melanjutkan karier di industri musik Indonesia. Namun, pada 2023, muncul permasalahan hukum ketika salah satu anggota lama, yakni Cella, mendaftarkan nama “Kotak” sebagai merek dagang atas nama pribadi, tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota pendiri lainnya.
Pendaftaran merek tersebut dilakukan secara sah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan mengikuti prosedur administratif yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Tindakan tersebut menimbulkan konflik internal, terutama dari tiga pendiri lainnya: Pare, Icez, dan Posan, yang merasa bahwa nama “Kotak” adalah hasil karya bersama dan tidak sepantasnya dimonopoli oleh satu orang.
Upaya Hukum yang Ditempuh Para Pendiri
Merasa hak mereka dirampas, tiga pendiri tersebut membawa masalah ini ke ranah hukum. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Sleman pada November 2024 dengan nomor perkara 265/Pdt.G/2024/PN Smn. Mereka meminta pengadilan membatalkan hak merek atas nama “Kotak” yang telah didaftarkan oleh Cella dan mengembalikan hak atas nama tersebut secara kolektif.
Namun, gugatan mereka ditolak. Alasannya? Pendaftaran merek tersebut telah dilakukan secara sah, dan Indonesia menganut prinsip first to file, bukan first to use. Artinya, sistem hukum Indonesia tidak mempertimbangkan siapa yang pertama kali menggunakan nama tersebut, tetapi siapa yang lebih dulu mendaftarkannya secara resmi di DJKI.
Tidak puas dengan hasil tersebut, para pendiri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Sayangnya, banding tersebut kembali ditolak. Kini, mereka tengah mempersiapkan langkah terakhir yaitu kasasi ke Mahkamah Agung.
Mengenal Prinsip First to File
Prinsip first to file adalah prinsip fundamental dalam sistem perlindungan merek di Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis dan digunakan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi oleh satu pihak dengan pihak lain.
Dalam sistem ini, hak atas merek hanya diberikan kepada pihak yang terlebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran, bukan kepada pihak yang pertama kali menggunakan merek tersebut dalam praktik bisnisnya. Jadi, meskipun seseorang telah memakai nama atau logo dalam jangka waktu yang lama, jika ia tidak mendaftarkannya secara resmi, maka ia tidak diakui secara hukum sebagai pemilik merek tersebut.
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan mendorong pelaku usaha untuk segera mendaftarkan merek dagangnya. Tanpa pendaftaran, hak atas merek tidak akan memperoleh perlindungan hukum.
Dampak dari Sistem First to File
Sistem ini memberikan konsekuensi besar, terutama bagi para pelaku usaha, seniman, dan kreator yang sering kali menganggap merek hanyalah formalitas belaka. Dalam banyak kasus, seperti yang dialami oleh Band Kotak, kelalaian dalam mendaftarkan merek bisa mengakibatkan hilangnya hak atas nama yang telah lama digunakan.
Selain itu, sistem ini juga membuka celah bagi tindakan bad faith atau pendaftaran merek secara tidak jujur. Misalnya, seseorang bisa saja mendaftarkan merek yang sebenarnya sudah digunakan oleh pihak lain, dengan harapan dapat memperoleh keuntungan dari penggunaan merek tersebut.
Namun, hukum juga memberikan mekanisme untuk membatalkan merek yang didaftarkan dengan itikad buruk. Akan tetapi, pembuktian itikad buruk tidaklah mudah. Penggugat harus menyajikan bukti yang kuat bahwa pendaftar merek memiliki niat jahat dan mengetahui bahwa merek tersebut sebenarnya milik pihak lain.
Langkah-Langkah Pendaftaran Merek di Indonesia
Berikut adalah tahapan pendaftaran merek yang berlaku di Indonesia:
- Pencarian dan Pemeriksaan Awal
- Cek terlebih dahulu apakah merek yang akan didaftarkan sudah digunakan atau belum. Ini bisa dilakukan melalui database publik DJKI.
- Pengajuan Permohonan
- Pemohon mengisi formulir dan mengunggah dokumen yang diperlukan, seperti logo, identitas pemohon, surat kuasa (jika diwakilkan), dan bukti pembayaran biaya.
- Pemeriksaan Formal
- Dalam 15 hari, DJKI akan menilai apakah permohonan telah lengkap dan memenuhi syarat formal administratif.
- Pengumuman Publik
- Merek akan diumumkan selama dua bulan di laman resmi DJKI. Pada masa ini, pihak ketiga dapat mengajukan keberatan atau sanggahan.
- Pemeriksaan Substantif
- Jika tidak ada keberatan, maka merek akan diperiksa secara substantif selama maksimal 150 hari.
- Pendaftaran dan Sertifikat
- Jika lolos semua tahap, DJKI akan menerbitkan sertifikat merek yang berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang.
Pelajaran dari Kasus Band Kotak
- Kesepakatan Internal Harus Diperjelas
Dalam proyek kolektif seperti band, startup, komunitas kreatif, penting untuk memiliki kesepakatan hukum yang jelas sejak awal, termasuk siapa yang berhak atas nama dan merek. - Pendaftaran Merek Adalah Prioritas
Banyak pelaku kreatif lebih fokus pada produksi karya dibanding urusan hukum. Padahal, melindungi merek sejak awal adalah langkah preventif yang krusial. - Nama Bukan Sekadar Nama
Nama yang telah dikenal luas oleh masyarakat memiliki nilai komersial yang tinggi. Jangan anggap enteng kekuatan nama yang telah dibangun bertahun-tahun. - Dokumentasi dan Bukti Harus Kuat
Jika hendak menggugat pendaftaran merek oleh pihak lain, harus disiapkan bukti tertulis, rekam jejak penggunaan, bahkan saksi yang mendukung bahwa nama tersebut milik bersama. - Kenali Perbedaan First to File vs First to Use
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, sistemnya menganut first to use, di mana penggunaan pertama memiliki bobot penting. Indonesia tidak demikian. Maka dari itu, pengusaha dan kreator lokal harus menyesuaikan strategi mereka.
Kasus Band Kotak menjadi cermin bagi banyak pihak bahwa di era digital dan komersialisasi kreatif seperti sekarang, perlindungan hukum terhadap merek dan identitas menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Apalagi Indonesia menganut prinsip first to file, di mana hanya mereka yang mendaftarkan merek terlebih dahulu yang mendapat pengakuan hukum.
Para pelaku usaha, seniman, musisi, dan kreator konten di Indonesia wajib memahami bahwa merek adalah aset berharga. Tidak hanya secara emosional, tetapi juga secara hukum dan finansial. Mendaftarkan merek bukan hanya tentang legalitas, tapi juga tentang mengamankan masa depan dari sengketa, konflik, atau bahkan eksploitasi oleh pihak lain.
Jika Anda sudah memiliki nama brand, logo, atau simbol yang digunakan dalam bisnis atau karya Anda — segera daftarkan! Jangan sampai pengalaman pahit seperti Band Kotak menimpa Anda.
Leave a Reply