
Di era transformasi digital, sektor perdagangan mengalami pergeseran besar-besaran dari toko fisik menuju platform daring seperti marketplace dan media sosial. Fenomena ini turut membawa implikasi baru dalam dunia perpajakan. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini sedang menggodok skema baru yang mewajibkan marketplace menjadi pihak pemungut pajak atas omzet para pedagang yang berdagang di platform mereka. Skema ini rencananya mulai diberlakukan pada tahun 2025.
Namun, apa sebenarnya maksud dari kebijakan ini? Siapa yang akan terkena dampaknya? Bagaimana implementasi teknisnya? Artikel ini akan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek penting dari kebijakan pemungutan pajak oleh marketplace terhadap para pelaku usaha yang berdagang secara online.
Apa Itu Skema Pemungutan Pajak oleh Marketplace?
Selama ini, pelaku usaha yang berdagang di marketplace melakukan pembayaran pajak secara mandiri. Mereka diwajibkan menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri, khususnya untuk Pajak Penghasilan (PPh) Final berdasarkan omzet mereka. Namun, dalam skema baru ini, tanggung jawab pemungutan PPh dialihkan kepada marketplace. Artinya, marketplace akan secara otomatis memotong PPh dari penghasilan para pedagang dan menyetorkannya langsung ke kas negara.
Pemungutan yang dimaksud adalah PPh Final sebesar 0,5% dari omzet atau penghasilan bruto, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Siapa yang Akan Terdampak?
Penting untuk dipahami bahwa tidak semua pedagang online akan dikenai pemotongan pajak melalui sistem ini. Hanya pedagang dengan omzet bruto tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar yang menjadi target kebijakan ini.
Sementara itu, pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun masih dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Final. Ketentuan ini mengacu pada ambang batas peredaran bruto dalam kebijakan UMKM yang berlaku saat ini.
Dengan demikian, para pelaku usaha mikro tetap dilindungi dan tidak akan dibebani dengan pajak tambahan. Kebijakan ini justru menyasar pelaku usaha menengah yang sudah memiliki penghasilan signifikan, agar turut berkontribusi terhadap pendapatan negara secara adil dan proporsional.
Tujuan dan Manfaat Kebijakan
1. Meningkatkan Kepatuhan Pajak
Salah satu tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan di sektor digital yang selama ini dinilai masih longgar. Banyak pelaku usaha digital yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau belum melakukan pelaporan pajak secara konsisten.
Dengan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak, pemerintah dapat memastikan bahwa setiap transaksi yang memenuhi syarat dapat dikenai pajak secara otomatis.
2. Efisiensi Administrasi Pajak
Bagi pelaku usaha, skema ini juga membawa kemudahan karena mereka tidak lagi perlu menghitung dan menyetor pajaknya sendiri. Semua proses akan dilakukan oleh marketplace sebagai pihak ketiga. Ini diharapkan dapat mengurangi kesalahan dalam penghitungan dan mempercepat aliran penerimaan pajak ke kas negara.
3. Menciptakan Kesetaraan antara Online dan Offline
Kebijakan ini juga bertujuan untuk menciptakan level playing field antara pelaku usaha offline dan online. Di sektor offline, pemungutan pajak sudah diterapkan di pusat perbelanjaan atau mal melalui pemotongan oleh pengelola. Sekarang, sistem serupa diterapkan di dunia digital.
Mekanisme Pelaksanaan
1. Penunjukan Resmi oleh DJP
Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan sejenisnya akan ditunjuk secara resmi oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai pemungut PPh Pasal 22. Penunjukan ini akan dilakukan melalui keputusan atau surat edaran resmi, lengkap dengan panduan teknis pelaksanaan.
2. Pemotongan Otomatis PPh
Saat pedagang menerima pembayaran dari pembeli, sistem marketplace akan secara otomatis memotong 0,5% dari nilai bruto transaksi. Jumlah yang dipotong kemudian akan disetorkan ke kas negara atas nama pedagang yang bersangkutan.
3. Pelaporan dan Bukti Potong
Marketplace juga bertanggung jawab untuk menyediakan bukti potong pajak bagi pedagang. Bukti ini dapat diakses oleh pedagang melalui dasbor akun mereka masing-masing, dan bisa digunakan untuk kepentingan pelaporan atau pembukuan.
Tantangan yang Akan Dihadapi
1. Integrasi dan Perlindungan Data
Agar sistem ini dapat berjalan efektif, marketplace perlu memiliki sistem yang terintegrasi dengan basis data DJP. Ini menimbulkan tantangan baru dalam hal perlindungan data pribadi pedagang, termasuk informasi omzet dan transaksi.
Diperlukan protokol keamanan yang ketat agar data sensitif tidak disalahgunakan atau bocor ke pihak lain.
2. Pedagang Multi-Platform
Banyak pedagang yang berjualan di lebih dari satu platform. Hal ini membuat perhitungan omzet menjadi lebih kompleks. Apakah pajak akan dipotong per platform atau secara agregat dari seluruh omzet pedagang?
Perlu ada aturan yang jelas mengenai cara penggabungan omzet dari berbagai sumber agar tidak terjadi pemotongan ganda atau sebaliknya, pelarian dari kewajiban.
3. Potensi Beban Tambahan bagi Pedagang
Meskipun bertujuan mempermudah, sebagian pelaku usaha khawatir dengan biaya tambahan yang mungkin dibebankan akibat sistem pemotongan otomatis ini. Beberapa khawatir bahwa biaya operasional mereka akan meningkat, atau bahwa pemotongan akan mengganggu arus kas usaha kecil.
Potensi Dampak Sosial dan Ekonomi
1. Meningkatkan Penerimaan Negara
Dengan mekanisme otomatis dan sistematis, negara dapat memperluas basis pajak dari sektor informal menjadi sektor yang tercatat. Hal ini akan meningkatkan penerimaan pajak tanpa perlu menaikkan tarif.
2. Mendorong Formalisasi UMKM
Kebijakan ini juga diharapkan mendorong lebih banyak UMKM untuk masuk ke sistem formal. Dengan memiliki NPWP dan tercatat dalam sistem pajak, UMKM bisa mendapatkan akses yang lebih baik terhadap pembiayaan, pelatihan, dan insentif pemerintah lainnya.
3. Meningkatkan Trust terhadap Marketplace
Marketplace yang transparan dalam urusan pajak dapat meningkatkan kepercayaan pengguna, baik dari sisi pedagang maupun pembeli. Ini akan mendorong ekosistem e-commerce yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Sikap Pelaku Usaha
Respons pelaku usaha terhadap kebijakan ini masih beragam. Sebagian menyambut baik karena dianggap menyederhanakan urusan pajak, sementara sebagian lain merasa khawatir akan dampak terhadap pendapatan bersih mereka.
Beberapa pelaku usaha bahkan mempertimbangkan untuk beralih dari marketplace ke media sosial atau platform yang belum dikenai kewajiban pemungutan, sebagai bentuk penghindaran pajak. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam merancang kebijakan yang tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan tidak mendorong pelarian dari sistem formal.
Langkah yang Harus Dilakukan Pedagang
Bagi pelaku usaha yang berdagang di marketplace, ada beberapa langkah yang disarankan:
- Cek Omzet Tahunan – Apakah sudah melebihi Rp500 juta per tahun?
- Pastikan Memiliki NPWP – Ini penting untuk pelaporan pajak dan sinkronisasi data.
- Gunakan Pembukuan Sederhana – Meski marketplace memungut otomatis, catatan keuangan tetap penting.
- Pantau Potongan Otomatis – Selalu periksa potongan PPh di laporan transaksi.
- Konsultasi Pajak jika Diperlukan – Konsultasi dengan konsultan pajak atau akuntan akan sangat membantu dalam transisi ke sistem baru ini.
Pemungutan pajak oleh marketplace terhadap pedagang online merupakan langkah besar dalam modernisasi sistem perpajakan Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi digital dan platform perdagangan daring sebagai perpanjangan tangan negara, diharapkan sistem perpajakan menjadi lebih adil, efisien, dan inklusif.
Namun, seperti kebijakan besar lainnya, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang cermat, dukungan teknis dari semua pihak, serta komunikasi yang terbuka antara pemerintah, marketplace, dan pelaku usaha. Bila diterapkan secara tepat, kebijakan ini tidak hanya akan menambah penerimaan negara, tetapi juga mendorong transformasi UMKM menuju ekosistem digital yang lebih formal dan terpercaya.
Leave a Reply