CoLegal Indonesia: Transaksi Digital dan Pajak! Wajibkah Lapor Penghasilan dari Online Shop, TikTok, dan Shopee?

Di era digital saat ini, berjualan tidak lagi terbatas pada toko fisik. Banyak pelaku usaha kini menjalankan bisnisnya secara online melalui berbagai platform seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, Instagram, hingga WhatsApp Business. Bahkan, influencer dan content creator kini juga memperoleh penghasilan dari endorse, iklan, afiliasi, dan penjualan produk digital.

Namun, seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis di dunia maya, muncul pertanyaan penting: Apakah penghasilan dari transaksi digital juga dikenakan pajak? Wajibkah pelaku usaha online dan konten kreator melaporkannya?

Jawabannya: ya, wajib.
Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa seluruh bentuk penghasilan, termasuk dari transaksi digital, merupakan objek pajak yang harus dilaporkan dan dibayarkan sesuai ketentuan.

Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang kewajiban pajak bagi pelaku usaha digital, termasuk penjual online, dropshipper, reseller, hingga konten kreator. Juga akan dijelaskan jenis pajaknya, cara pelaporan, dan tips untuk tetap taat pajak di era digital.


1. Pajak Tidak Mengenal Bentuk Usaha Fisik atau Digital

Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 yang telah beberapa kali diubah) menyatakan bahwa setiap penghasilan yang diterima wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri, dikenakan pajak.

Artinya, tidak ada pengecualian bagi bentuk usaha digital. Apakah kamu:

  • Menjual barang di Shopee, Tokopedia, TikTok Shop?
  • Menjadi reseller via WhatsApp atau Telegram?
  • Menerima endorse di Instagram atau YouTube?
  • Jualan e-book, template, atau jasa desain via Google Drive dan Linktree?

Semua itu termasuk aktivitas yang menghasilkan penghasilan dan wajib dikenakan pajak.


2. Jenis-Jenis Pelaku Usaha Digital yang Wajib Pajak

Berikut ini kategori pelaku usaha di ranah digital yang perlu memperhatikan kewajiban perpajakannya:

A. Penjual Online

Mereka yang menjual produk fisik melalui:

  • Marketplace: Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli
  • Social Commerce: TikTok Shop, Facebook Marketplace
  • Web pribadi & landing page

B. Reseller dan Dropshipper

Meski tidak memiliki stok, tetap memiliki peran dalam menghasilkan omzet dan keuntungan.

C. Content Creator

Mereka yang mendapat penghasilan dari:

  • Endorsement dan kerja sama brand
  • Google Adsense (YouTube, blog)
  • Donasi atau gift dari penonton (TikTok Live, Twitch)
  • Affiliate marketing

D. Penyedia Jasa Digital

Termasuk freelancer desain, penulis, editor, voice over, penerjemah, dan lainnya yang menggunakan platform digital seperti Fiverr, Sribulancer, dan Upwork.


3. Jenis Pajak yang Dikenakan pada Transaksi Digital

Ada beberapa jenis pajak yang relevan untuk pelaku usaha online, di antaranya:

A. Pajak Penghasilan (PPh)

Semua penghasilan dari aktivitas digital merupakan objek PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, tergantung dari bentuk usaha.

Bagi UMKM dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun, bisa memilih menggunakan skema PPh Final 0,5% dari omzet, sesuai PP 23 Tahun 2018.

B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Jika pelaku usaha telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka wajib memungut PPN sebesar 11% dari transaksi jual barang atau jasa.

Mulai tahun 2020, PPN juga diberlakukan untuk produk digital dari luar negeri, seperti Netflix, Spotify, Google, dll. Namun, untuk pelaku lokal, PPN dikenakan jika omzet telah melebihi Rp500 juta dan mendaftar sebagai PKP.

C. PPh Pasal 21 dan 23 (jika ada karyawan atau mitra)

Jika content creator atau toko online telah memiliki karyawan tetap atau melakukan pembayaran kepada mitra (freelancer lain), maka mereka juga bisa memiliki kewajiban memotong PPh orang lain.


4. Marketplace dan Pemotongan Pajak Otomatis

Pemerintah melalui PMK No. 210/PMK.010/2018 telah mengatur bahwa marketplace wajib menyediakan laporan transaksi penghasilan penjual. Bahkan, beberapa marketplace juga memotong pajak langsung, terutama untuk:

  • TikTok Shop
  • Shopee Seller Center
  • Tokopedia Power Merchant Pro

Contoh: TikTok Shop bisa secara otomatis memotong PPh Final 0,5% dari penghasilan harian seller dan menyetorkannya ke kas negara. Namun, tanggung jawab pelaporan pajak tetap berada di tangan pelaku usaha.


5. Cara Pelaku Usaha Online Menjalankan Kewajiban Pajaknya

Berikut ini langkah-langkah agar pelaku usaha digital tetap taat pajak:

A. Memiliki NIK atau NPWP yang Aktif

Mulai 2024, NIK = NPWP. Pastikan NIK kamu sudah diaktivasi di sistem Coretax, karena DJP Online akan digantikan.

B. Membuat Pencatatan Omzet dan Pengeluaran

Pelaku usaha online perlu membuat catatan omzet dan biaya, meski hanya menggunakan spreadsheet sederhana. Ini berguna untuk menentukan kewajiban pajaknya.

C. Menyetor Pajak

Gunakan fitur e-Billing di Coretax untuk menyetor PPh Final atau PPh lainnya sesuai omzet yang didapat.

D. Melaporkan SPT

  • SPT Tahunan Pribadi untuk Wajib Pajak perorangan.
  • SPT Masa jika sudah memiliki pegawai atau masuk PKP.
  • Laporan bisa dilakukan secara online via https://coretax.pajak.go.id

6. Contoh Kasus Perhitungan Pajak

A. Penjual Online – Shopee Seller

Omzet per bulan: Rp20.000.000
Biaya operasional: Rp5.000.000
Penghasilan bersih: Rp15.000.000

PPh Final 0,5% x Rp20 juta = Rp100.000/bulan

Disetor setiap bulan dan dilaporkan setahun sekali.

B. Content Creator – YouTuber

Penghasilan dari Adsense: Rp3.500.000/bulan
Endorsement dari brand lokal: Rp5.000.000/bulan

Total penghasilan: Rp8.500.000/bulan

Jika tidak menggunakan skema UMKM, maka harus menghitung pajak berdasarkan penghasilan bersih, dikurangi PTKP, lalu dikenakan tarif progresif.


7. Pengawasan Pemerintah terhadap Transaksi Digital

Pemerintah kini menggunakan data perbankan dan digital platform untuk melacak penghasilan wajib pajak, termasuk dari:

  • Marketplace dan payment gateway (ShopeePay, DANA, OVO, dll)
  • Data transaksi rekening bank
  • Platform sosial media dan ads manager

Mereka yang memiliki penghasilan digital tapi tidak melaporkan, berisiko terkena pemeriksaan dan sanksi pajak.


8. Sanksi Jika Tidak Melaporkan Penghasilan Digital

Tidak melaporkan pajak bisa mengakibatkan:

  • Denda administratif
    Telat SPT Tahunan: Denda Rp100.000 – Rp1.000.000
  • Bunga keterlambatan pembayaran
  • Sanksi pidana perpajakan
    Dalam kasus penggelapan atau pelaporan fiktif, bisa dipidana maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda 2-4 kali lipat dari jumlah pajak terutang.

9. Transisi DJP Online ke Coretax: Wajib Diketahui Pelaku Usaha Digital

Sejak Juli 2024, DJP mulai memperkenalkan Coretax, sistem baru yang menggantikan DJP Online secara bertahap.

Pelaku usaha digital harus segera:

  • Daftar akun di Coretax
  • Aktivasi NIK-NPWP
  • Update data usaha
  • Coba fitur pelaporan baru yang lebih efisien

Coretax memudahkan pelaku usaha digital karena:

  • Terintegrasi dengan data marketplace
  • Laporan SPT lebih otomatis
  • Bisa melihat riwayat pajak dan pengingat langsung

10. Tips Sukses Pajak Bagi Pelaku Usaha Digital

  • Pisahkan rekening pribadi dan usaha
  • Gunakan spreadsheet untuk mencatat transaksi
  • Cek notifikasi pajak secara rutin
  • Bayar pajak secara berkala, jangan tunggu akhir tahun
  • Ikut pelatihan atau webinar pajak UMKM
  • Gunakan jasa konsultan pajak jika usaha mulai berkembang

Usaha Digital = Pajak Digital

Menjadi pelaku usaha online atau content creator memang memberikan kemudahan dan fleksibilitas. Namun, jangan lupakan bahwa segala bentuk penghasilan, baik fisik maupun digital, tetap merupakan objek pajak yang sah.

Pemerintah kini semakin aktif memantau transaksi digital dan menyediakan sistem yang semakin mudah seperti Coretax. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak taat pajak.

Dengan memahami dan mematuhi aturan pajak, pelaku usaha digital bisa menjalankan bisnis secara legal, aman, dan siap berkembang lebih besar lagi.

Pajak itu bukan beban. Pajak adalah kontribusi, bukti bahwa usaha kita tumbuh, dan bagian dari membangun Indonesia.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*