
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan Coretax atau Core Tax Administration System sebagai bagian dari upaya besar untuk mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. Sistem ini dirancang dengan tujuan untuk menjadi lebih efisien, transparan, dan modern, serta diharapkan dapat menjadi lompatan signifikan dalam administrasi pajak nasional. Namun, di balik harapan tersebut, implementasi sistem ini masih menyisakan sejumlah catatan kritis dari pengguna dan pelaku usaha.
Ambisi Modernisasi yang Menghadirkan Tantangan
Modernisasi sistem perpajakan memang sangat diperlukan. Selama bertahun-tahun, sistem lama dianggap tidak lagi mampu memenuhi tuntutan digitalisasi dan peningkatan efisiensi. Coretax diluncurkan dengan tujuan menyederhanakan proses administrasi, meningkatkan basis data perpajakan, serta mempercepat proses pemeriksaan dan restitusi. Namun, seperti halnya banyak sistem digital baru yang diterapkan secara nasional, tidak dapat dihindari adanya berbagai masalah yang muncul di awal implementasinya.
Sejak diresmikan, pengguna telah mengeluhkan berbagai gangguan teknis, mulai dari kesulitan dalam pembuatan akun hingga seringnya sistem mengalami error saat pengisian SPT atau laporan pajak lainnya. Tidak hanya wajib pajak perorangan yang merasakan dampaknya, tetapi juga perusahaan, konsultan pajak, dan kantor hukum.
Pengaruh Sistem terhadap Kepatuhan dan Kegiatan Ekonomi
Ketika sistem pelaporan pajak menjadi sulit digunakan, tidak menutup kemungkinan hal ini akan berdampak pada kepatuhan pajak. Banyak pelaku usaha mengeluhkan bahwa gangguan pada Coretax membuat proses pelaporan menjadi lambat dan tidak pasti, bahkan dapat menghambat aktivitas bisnis mereka. Konsultan pajak dan profesional hukum yang mendampingi klien mereka juga merasakan peningkatan beban kerja sebagai akibat dari masalah ini.
Jika situasi seperti ini terus berlanjut, akan ada risiko menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap administrasi pajak. Padahal, transparansi dan kemudahan dalam sistem perpajakan adalah syarat penting untuk menarik minat investasi dan mendorong pertumbuhan sektor formal. Bagi pelaku UMKM yang baru memulai usaha, pengalaman pertama menggunakan sistem yang rumit dapat menjadi penghalang untuk berkomitmen terhadap kewajiban perpajakan.
Respons DJP: Antara Komitmen dan Realitas di Lapangan
Merespons berbagai keluhan publik, DJP berjanji telah menyiapkan prosedur untuk menangani gangguan teknis dan memastikan bahwa tidak ada sanksi bagi keterlambatan yang disebabkan oleh kesalahan sistem. Mereka juga menyatakan bahwa sistem telah diperbaiki, termasuk pengurangan waktu pemeriksaan pajak dari 12 bulan menjadi 6 bulan.
Namun, pernyataan ini belum mampu meredakan kecemasan di lapangan. Banyak pengguna merasa bahwa penyempurnaan yang dijanjikan belum cukup dirasakan, karena gangguan teknis masih sering terjadi dan pelayanan belum sepenuhnya responsive.
Di sinilah tantangan reformasi digital menjadi jelas: perubahan sistem bukan hanya soal perangkat lunak tetapi juga kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur pendukung, serta kualitas komunikasi antara regulator dan pengguna sistem.
Transformasi Digital: Perlunya Pendekatan Berbasis Manusia
Salah satu pelajaran berharga dari kasus Coretax adalah bahwa transformasi digital tidak hanya dapat bergantung pada aspek teknis semata. Pemerintah, dalam hal ini DJP, perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih human-centric. Artinya, sistem yang dikembangkan harus memperhatikan kemampuan adaptasi pengguna, menyediakan panduan dan pelatihan yang memadai, serta membangun saluran umpan balik yang responsif.
Masyarakat wajib pajak, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah, harus diberikan ruang untuk bertransisi. Jika perubahan sistem dilakukan secara mendadak dan disertai dengan gangguan teknis, tujuan utama—peningkatan kepatuhan dan efisiensi—berisiko meleset.
Jalan Tengah: Sinergi antara Teknologi dan Pelayanan
Ke depan, DJP perlu melakukan peninjauan ulang terhadap pendekatan dalam pengembangan dan peluncuran sistem perpajakan digital. Melaksanakan uji coba secara terbatas, melibatkan komunitas pengguna dalam evaluasi sistem, serta menyediakan mekanisme aduan yang cepat dan jelas adalah langkah-langkah yang sangat diperlukan.
Pemerintah sebaiknya menjalin kerjasama dengan berbagai pihak ketiga, seperti startup pajak, penyedia aplikasi, serta asosiasi konsultan pajak, untuk memastikan bahwa implementasi sistem perpajakan dapat berjalan dengan lebih lancar. Di tengah era keterbukaan informasi ini, pengalaman pengguna menjadi salah satu kunci sukses dalam penerapan sistem digital.
Di sisi lain, bagi pengguna, penting untuk terus membangun literasi digital dan pemahaman tentang perpajakan secara berkelanjutan. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga agar mereka dapat memanfaatkan insentif, fasilitas, dan hak-hak yang diberikan negara melalui sistem perpajakan yang berlaku.
Pentingnya Mengingat Tujuan Akhir
Reformasi sistem perpajakan melalui Coretax merupakan langkah strategis yang layak mendapatkan apresiasi. Namun, implementasi yang tergesa-gesa tanpa mempersiapkan infrastruktur dan melibatkan publik dapat menghambat niat baik ini. Yang terpenting adalah memastikan bahwa sistem yang dirancang untuk menyederhanakan tidak malah menciptakan kerumitan baru.
Keberhasilan reformasi perpajakan bukan hanya ditentukan oleh kehadiran teknologi baru, tetapi lebih pada seberapa efektif teknologi tersebut membantu masyarakat untuk menjalankan kewajiban mereka dengan lebih mudah, cepat, dan percaya diri. Oleh karena itu, Coretax perlu terus ditingkatkan, mendapatkan masukan kritis, dan dievaluasi—supaya benar-benar dapat menjadi sistem yang mengutamakan kepentingan publik.
Leave a Reply