Colegal Indonesia: Kontroversi “Tung Tung Tung Sahur” Karya Hasil Generate AI Bisa Diakui sebagai Hak Cipta?

Di tengah derasnya gelombang digitalisasi, dunia seni dan konten kreatif kini dihadapkan pada sebuah dilema baru: siapa pemilik sah karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI)? Kontroversi seputar suara “Tung-Tung Sahur” yang viral di media sosial pada bulan Ramadan lalu menjadi salah satu kasus menarik yang mencuatkan pertanyaan penting ini ke permukaan.


Fenomena “Tung-Tung Sahur”: Viral, Lucu, tapi Mengundang Pertanyaan

Suara “Tung-Tung Sahur” awalnya dianggap lucu dan menghibur. Klip suara ini disebarkan secara masif, dijadikan latar video TikTok, digunakan dalam game, bahkan sempat tampil dalam event resmi game populer. Namun siapa sangka, suara tersebut ternyata dihasilkan oleh teknologi AI text-to-speech oleh seorang kreator individu. Tanpa disadari banyak pengguna, suara tersebut adalah hasil kerja kreatif yang tidak dibuat oleh manusia, melainkan di-generate oleh mesin.

Yang menjadi masalah bukanlah kontennya, tetapi ketika karya tersebut digunakan secara luas oleh pihak lain—termasuk perusahaan besar—tanpa izin dari pembuat awalnya. Ini memicu perdebatan: apakah karya hasil generate AI bisa diakui sebagai hak cipta, dan siapa yang punya hak itu?


Apa Itu Karya AI?

Sebelum membahas status hukumnya, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan karya AI. Karya ini merujuk pada output berupa teks, gambar, suara, musik, atau video yang dihasilkan oleh sistem kecerdasan buatan, tanpa sentuhan langsung dari manusia pada proses kreatif akhirnya.

Sebagai contoh, ketika seseorang mengetik perintah “buatkan suara ajakan sahur dengan gaya lucu dan nada keras” ke dalam aplikasi AI tertentu, dan aplikasi tersebut mengeluarkan file audio seperti “Tung-Tung Sahur”, maka itulah yang disebut karya hasil generate AI.


Tantangan Hak Cipta: Apakah Karya AI Bisa Dilindungi?

Dalam sistem hukum yang berlaku saat ini di banyak negara, termasuk Indonesia, hak cipta biasanya hanya diberikan kepada manusia. Ini karena hak cipta dianggap sebagai bentuk penghargaan atas ekspresi ide dan kreativitas manusia.

Namun muncul pertanyaan:

  • Jika mesin yang menghasilkan karya, apakah masih bisa disebut sebagai “ekspresi” dari seseorang?
  • Jika seseorang memberikan perintah atau prompt, sejauh mana dia bisa dikatakan sebagai pencipta?

Di banyak negara, termasuk Indonesia, belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang kepemilikan karya AI. Maka, kita masuk ke dalam wilayah abu-abu hukum. Ada tiga pendekatan utama yang saat ini banyak diperbincangkan:

  1. Karya AI Tidak Diakui sebagai Karya yang Bisa Dilindungi
    • Karena tidak ada unsur kreativitas manusia langsung.
    • Ini artinya, karya AI bersifat public domain alias bisa digunakan siapa saja.
  2. Hak Cipta Diberikan kepada Pembuat Prompt
    • Dihitung sebagai bentuk kreativitas dalam mengarahkan AI.
    • Namun ini berisiko karena tidak semua prompt cukup kompleks untuk disebut “kreatif”.
  3. Hak Cipta Diberikan kepada Pencipta dan/atau Pemilik Sistem AI
    • Contohnya, developer aplikasi text-to-speech.
    • Namun pendekatan ini bisa memberatkan pengguna biasa dan kreator independen.

Etika dan Praktik Nyata di Lapangan

Kembali ke kasus “Tung-Tung Sahur”. Penggunaan suara ini oleh publik tanpa atribusi atau izin jelas menjadi permasalahan etika. Terlebih jika karya tersebut dimonetisasi atau digunakan oleh entitas komersial.

Walau mungkin belum bisa diklaim secara hukum, pembuat awal suara ini tetap merasa “dirugikan” karena hasil kreatifnya digunakan bebas tanpa kontrol. Hal ini menggambarkan pentingnya adanya perlindungan atau setidaknya pengakuan terhadap proses kreatif berbasis AI.

Jika tidak, akan ada kecenderungan karya AI digunakan bebas tanpa batas, dan hak moral kreator akan terabaikan. Ini bisa membuat banyak talenta muda malas berinovasi menggunakan AI secara kreatif, karena merasa tidak punya perlindungan hukum.


Pandangan Global: Di Mana Posisi Dunia Saat Ini?

Di Amerika Serikat, Kantor Hak Cipta (US Copyright Office) secara eksplisit menyatakan bahwa karya yang dibuat sepenuhnya oleh AI tidak bisa mendapatkan hak cipta. Hanya karya dengan kontribusi manusia yang substansial yang diakui.

Uni Eropa sedang menyusun AI Act, yang juga mempertimbangkan masalah kepemilikan dan tanggung jawab atas karya AI.

Sementara itu, Jepang dan China lebih terbuka terhadap kemungkinan pengakuan karya AI, dengan tetap mempertimbangkan peran kreator manusia di dalam prosesnya.

Indonesia sendiri, sampai saat ini, belum memiliki regulasi khusus. Undang-Undang Hak Cipta masih mengacu pada prinsip bahwa pencipta adalah manusia atau badan hukum.


Kenapa Harus Ada Kepastian Hukum untuk Karya AI?

  1. Melindungi Kreator
    Tanpa hukum yang jelas, siapa pun bisa mengambil karya AI orang lain dan mengklaimnya sendiri.
  2. Mendorong Inovasi Digital
    Kreator akan lebih berani berinovasi jika tahu hasil karyanya dilindungi.
  3. Menjaga Etika dalam Dunia Digital
    Agar penggunaan AI tidak menjadi ajang saling mencuri dan merugikan satu sama lain.
  4. Menghindari Konflik Komersial
    Dalam kasus seperti event game menggunakan suara AI, perusahaan bisa dituntut jika regulasinya jelas.

Solusi Sementara yang Bisa Diambil

Sambil menunggu regulasi, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan kreator maupun pengguna:

  • Gunakan Lisensi Terbuka dan Jelas
    Jika kamu membuat karya AI, kamu bisa memberikan lisensi Creative Commons, misalnya CC-BY, agar orang lain tetap memberikan atribusi.
  • Cantumkan Metadata atau Watermark AI
    Supaya tidak disalahgunakan dan bisa dilacak asal-usulnya.
  • Jangan Mengkomersialisasikan Karya AI Orang Lain
    Meskipun belum dilindungi hukum, tindakan ini tetap dianggap tidak etis.
  • Dorong Diskusi dan Edukasi Publik
    Masyarakat harus memahami batasan dan potensi penyalahgunaan karya AI.

Era Baru Kreativitas, Tapi Siapa yang Punya?

Karya seperti “Tung-Tung Sahur” hanyalah permulaan dari fenomena yang akan terus berkembang. Dalam waktu dekat, akan lebih banyak karya visual, musik, bahkan film pendek yang 100% dihasilkan oleh mesin. Namun tanpa aturan dan pemahaman yang tepat, kita bisa terjebak dalam kekacauan hak kepemilikan.

Regulasi mungkin belum ada, tetapi diskusi dan kesadaran bisa dimulai dari sekarang. Kita bisa mendorong pemerintah, akademisi, kreator, dan pelaku industri untuk bersama-sama mencari jalan tengah—agar kreativitas manusia tidak tergeser, dan inovasi digital tetap terlindungi.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*