CoLegal Indonesia: Memahami Pajak di Balik Perjalanan Haji dan Umrah

Setiap tahun, musim haji menjadi momen sakral dan dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak. Di balik semangat religius yang menyelimuti pelaksanaan ibadah ini, terdapat pula aspek administratif dan legal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah aspek perpajakan.

Meskipun ibadah haji dan umrah merupakan kegiatan spiritual, penyelenggaraannya tetap melekat pada aktivitas ekonomi. Hal ini terutama berlaku bagi pihak penyelenggara perjalanan ibadah dan pelaku usaha yang menyediakan jasa terkait. Oleh karena itu, pemahaman tentang bagaimana ketentuan perpajakan bekerja dalam konteks perjalanan haji sangat penting, baik bagi pelaku usaha maupun calon jemaah.

Perjalanan Haji dan Umrah sebagai Objek Pajak?

Secara umum, dalam sistem perpajakan Indonesia, semua jasa pada dasarnya merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali yang secara tegas dikecualikan dalam Undang-Undang PPN. Pertanyaan utama yang sering muncul adalah: apakah jasa perjalanan haji dan umrah termasuk objek PPN?

Menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2020, jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah tidak dikenakan PPN. Ini artinya, biaya yang dibayarkan jemaah untuk mengikuti program ibadah tersebut tidak dibebankan PPN oleh pihak biro perjalanan.

Pengecualian ini berlaku khusus untuk jasa perjalanan ibadah haji dan umrah yang bersifat murni keagamaan. Namun demikian, ketika dalam satu paket perjalanan terdapat tambahan layanan wisata (misalnya ziarah ke negara lain seperti Turki), maka biaya atas komponen wisata tersebut tetap dikenakan PPN sebesar 1,1% dari nilai penjualan (tarif efektif dari tarif 11%).

Dasar Hukum Tidak Dikenakannya PPN atas Jasa Perjalanan Ibadah

Pengecualian pengenaan PPN atas jasa perjalanan ibadah merujuk pada Pasal 4A ayat (3) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa jasa keagamaan termasuk dalam jenis jasa yang tidak dikenai PPN.

Jasa keagamaan yang dimaksud meliputi, antara lain:

  • Jasa pelayanan rumah ibadah,
  • Jasa pemberian khotbah atau ceramah agama,
  • Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan
  • Jasa lainnya yang bersifat keagamaan, termasuk jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah.

Dengan demikian, jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah oleh biro travel yang resmi dan berizin, termasuk dalam kelompok jasa keagamaan yang tidak dikenakan PPN.

Bagaimana dengan Perjalanan Tambahan Wisata (Tour)?

Dalam praktiknya, banyak biro perjalanan yang menawarkan paket kombinasi antara ibadah dan wisata. Contohnya, setelah selesai melaksanakan umrah, jemaah bisa melanjutkan perjalanan ke Mesir, Dubai, atau Turki untuk berwisata.

Nah, komponen wisata ini dikenakan PPN karena tidak lagi masuk dalam kategori jasa keagamaan. Bahkan jika digabungkan dalam satu harga paket, penyelenggara wajib memisahkan nilai jasa keagamaan dan jasa wisata untuk keperluan pelaporan pajak. Jika tidak dipisahkan, maka seluruh nilai paket bisa dikenakan PPN karena dianggap sebagai satu kesatuan jasa wisata.

Maka dari itu, sangat penting bagi biro perjalanan untuk menyusun invoice dan kontrak layanan secara rinci, termasuk memisahkan tagihan untuk jasa yang tidak dikenai PPN dan yang dikenai.

Pajak Penghasilan (PPh) bagi Penyelenggara Perjalanan Haji dan Umrah

Selain PPN, aspek lain yang juga penting adalah Pajak Penghasilan (PPh). Bagi penyelenggara perjalanan ibadah haji yang berbentuk badan usaha, seluruh penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usahanya menjadi objek PPh sesuai ketentuan umum.

Penghasilan ini akan dikenai PPh Badan dengan tarif yang berlaku, dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Jika penyelenggara menggunakan sistem pemotongan atau pemungutan PPh seperti PPh Pasal 23 atas jasa, maka mereka juga harus mematuhi ketentuan tersebut.

Untuk perusahaan yang memiliki status Pengusaha Kena Pajak (PKP), meskipun jasa ibadah dikecualikan dari PPN, perusahaan tetap diwajibkan membuat faktur pajak untuk pembukuan dan pelaporan.

Kewajiban PKP dalam Menyusun Faktur Pajak

Meski jasa ibadah tidak dikenakan PPN, Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyelenggara haji dan umrah tetap memiliki kewajiban administrasi perpajakan. Dalam hal ini:

  • Mereka harus tetap membuat faktur pajak dengan kode khusus (07) untuk transaksi yang tidak dikenai PPN.
  • Faktur ini digunakan sebagai dokumen pendukung dalam pelaporan SPT Masa PPN.

Penggunaan kode 07 menunjukkan bahwa transaksi tersebut merupakan penyerahan barang atau jasa yang tidak dikenai PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Contoh Kasus dan Ilustrasi Praktis

Misalnya, Biro Perjalanan A menjual paket haji dengan harga Rp70 juta dan tambahan wisata ke Turki sebesar Rp10 juta. Dalam hal ini:

  • Komponen haji sebesar Rp70 juta tidak dikenakan PPN.
  • Komponen wisata ke Turki sebesar Rp10 juta dikenakan PPN sebesar 1,1%, yaitu Rp110.000.

Penyelenggara wajib:

  • Memisahkan tagihan dan mencantumkan kedua komponen secara terpisah.
  • Membuat faktur pajak kode 07 untuk bagian haji dan faktur pajak biasa untuk bagian wisata.

Peran dan Kewajiban Jemaah

Bagi jemaah, aspek perpajakan mungkin tidak terlalu terasa secara langsung karena seluruh pengurusan pajak berada di tangan penyelenggara. Namun jemaah tetap perlu:

  • Memastikan bahwa biro perjalanan yang dipilih memiliki izin resmi dari Kemenag dan DJP.
  • Meminta bukti pembayaran dan faktur (jika dimungkinkan) untuk transparansi biaya.

Bagi jemaah yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dan memiliki penghasilan besar, dokumentasi ini juga dapat menjadi bagian penting dalam pelaporan harta atau kegiatan keuangan mereka di SPT Tahunan.

Musim haji adalah momen religius yang juga melibatkan kegiatan ekonomi skala besar, mulai dari transportasi, akomodasi, hingga jasa penyelenggaraan. Pemahaman terhadap aspek perpajakan dalam konteks ini menjadi krusial, baik untuk pelaku usaha maupun calon jemaah.

Beberapa poin penting yang perlu diingat:

  • Jasa perjalanan ibadah haji dan umrah tidak dikenai PPN.
  • Komponen wisata tambahan dikenai PPN sebesar 1,1% dari harga.
  • Penyelenggara harus membuat faktur pajak yang sesuai (kode 07 dan faktur biasa).
  • PPh tetap berlaku atas penghasilan yang diperoleh oleh penyelenggara.

Dengan memahami ketentuan ini, semua pihak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan tenang dan sesuai aturan, tanpa mengganggu niat ibadah yang tulus.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*