Colegal Indonesia: Panduan Mendalam Tax Treaty untuk Mencegah Pajak Berganda dan Memperkuat Kepastian Hukum

Dalam era ekonomi global, perusahaan dan individu semakin sering melakukan transaksi lintas batas mulai dari ekspor‐impor, penyediaan jasa profesional, investasi portofolio, hingga penanaman modal asing langsung. Tanpa mekanisme khusus, jenis kegiatan ini berisiko menimbulkan pajak berganda (double taxation): satu penghasilan dikenai pajak di negara tempat dihasilkannya (source country) dan kembali dipungut di negara domisili (residence country). Untuk menjaga iklim investasi, meningkatkan kepastian hukum, dan mencegah pengelakan pajak, negara‐negara menjalin tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

Artikel ini mengupas tuntas aspek‐aspek penting tax treat dari dasar hukum, struktur perjanjian, mekanisme operasional, hingga tantangan implementasi serta memberikan contoh kasus dan strategi praktis bagi wajib pajak dan konsultan pajak di Indonesia.


1. Landasan Hukum dan Model Konvensi

1.1 Dasar Pengaturan Internasional

Tax treaty umumnya mengacu pada dua model utama:

  • OECD Model Tax Convention
    Disusun oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), model ini difokuskan pada kepentingan negara‐negara maju dan memuat klausul anti‐abuse, misalnya Limitation on Benefits (LOB) untuk mencegah treaty shopping.
  • UN Model Double Taxation Convention
    Diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa‐Bangsa, lebih menekankan kebutuhan negara berkembang akan penerimaan pajak sumber, dengan tarif pemotongan pajak (withholding tax) yang cenderung lebih tinggi.

Indonesia sebagai anggota OECD/G20 mengacu pada OECD Model, namun saat meratifikasi sejumlah treaty, Yogyakarta menyesuaikan pasal‐pasalnya dengan kondisi domestik melalui protokol atau amandemen.

1.2 Regulasi Domestik

Implementasi tax treaty di Indonesia diatur lebih lanjut dalam:

  • Undang‐Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), khususnya Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa ketentuan perjanjian internasional di bidang perpajakan menjadi bagian dari undang‐undang sepanjang telah diratifikasi.
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara permohonan dan persyaratan Certificate of Residence, mekanisme klaim fasilitas, serta dokumen pendukung.

2. Struktur Umum Tax Treaty

Sebuah tax treaty umumnya terdiri dari 25–30 pasal, dengan pokok‐pokok sebagai berikut:

  1. Pasal Definisi (Definitions)
    Menetapkan istilah kunci “resident”, “permanent establishment”, “enterprise”, “dividends”, “interest”, “royalties” yang menjadi rujukan seluruh pasal.
  2. Pasal Permanent Establishment (PE)
    Menentukan kondisi yang menciptakan nexus bagi kewenangan pajak negara sumber, misalnya:
    • Kantor cabang, pabrik, atau gudang
    • Proyek konstruksi atau pemasangan lebih dari 12 bulan
    • Agen independen vs. agen terikat
  3. Pasal Business Profits
    Mengatur pembebasan pajak di sumber bagi laba usaha kecuali laba tersebut diatribusikan pada PE.
  4. Pasal Dividends, Interest, dan Royalties
    Menetapkan tarif pemotongan pajak maksimum (withholding tax), biasanya:
    • Dividen: 5–15%
    • Bunga: 0–10%
    • Royalti: 5–15%
  5. Pasal Capital Gains
    Menetapkan negara mana yang berhak memungut pajak atas keuntungan penjualan aset, dengan pengecualian untuk aset tetap berwujud dan saham perusahaan properti.
  6. Pasal Non‐Discrimination
    Melarang diskriminasi fiskal terhadap wajib pajak asing yang berada dalam kondisi setara.
  7. Pasal Exchange of Information
    Mewajibkan pertukaran data keuangan dan audit antar otoritas pajak untuk menegakkan ketentuan treaty.
  8. Pasal Mutual Agreement Procedure (MAP)
    Mekanisme penyelesaian sengketa bilateral jika terjadi interpretasi yang berbeda antara dua otoritas pajak.
  9. Pasal Entry into Force & Termination
    Menjelaskan proses ratifikasi, tanggal berlaku, masa transisi, dan prosedur pengakhiran.

3. Mekanisme Menghindari Pajak Berganda

Dua metode utama digunakan dalam perjanjian dan implementasi domestik:

3.1 Credit Method

Negara domisili mengakui pajak yang telah dibayar di negara sumber sebagai kredit (tax credit) terhadap pajak terutang dalam negeri. Besaran kredit biasanya dibatasi pada jumlah pajak terutang di dalam negeri atas penghasilan yang sama.

3.2 Exemption Method

Negara domisili membebaskan (exempt) penghasilan yang telah dikenai pajak di negara sumber, sehingga tidak terjadi pemajakan ganda.

Contoh implementasi: Indonesia menggunakan metode kredit penuh untuk PPh Pasal 24, yang memperbolehkan kredit pajak asing hingga 100% pajak luar negeri, sepanjang dibayar untuk pos‐pos penghasilan tertentu.


4. Jaringan Perjanjian Tax Treaty Indonesia

Per Mei 2025, Indonesia telah menandatangani lebih dari 70 treaty bilateral. Beberapa di antaranya:

Negara MitraTanggal PenandatangananTarif DividenTarif BungaTarif RoyaltiCatatan
Singapura1 Oktober 200810%0%5%Salah satu nilai tarif terendah
Jepang1 April 200810%10%10%Amandemen 2017 untuk pasal LOB
Belanda6 Desember 19905%0%5%Protokol amandemen 2019
Malaysia1 Juli 198910%10%10%Ketentuan khusus untuk petroleum
Korea Selatan19 Oktober 198010%5%5%Revisi pasal LOB tahun 2016

Jaringan ini terus berkembang, dengan negosiasi tengah berjalan untuk perjanjian multilateral di bawah skema BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) Action 15 OECD.


5. Prosedur Klaim Fasilitas Tax Treaty

5.1 Sertifikat Domisili (Certificate of Residence, CoR)

Diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak Indonesia untuk membuktikan status domisili wajib pajak. Syarat utama:

  • Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan/Tahun Pajak terakhir
  • Dokumen pendukung seperti akta pendirian, laporan keuangan, dan NPWP

5.2 Permohonan di Negara Sumber

Wajib pajak atau pemotong/pemungut di negara sumber mengajukan permohonan fasilitas:

  1. Lampirkan CoR dan SPT terakhir
  2. Mengisi formulir permohonan withholding tax (contoh Form 2305 untuk Singapore)
  3. Lampirkan data kontrak, invoice, dan bukti pembayaran

5.3 Pelaporan di Indonesia

  • Credit Method: Klaim kredit pajak luar negeri pada SPT Tahunan PPh Badan (Lampiran Cetakan 1721‐A1 atau e‐form)
  • Exemption Method: Tunjukkan bukti pemotongan di sumber, lalu laporkan penghasilan bebas pajak di SPT.

5.4 Dokumentasi dan Arsip

Simpan semua dokumen selama minimal 10 tahun—CoR, formulir permohonan, bukti pemotongan, kontrak, dan korespondensi dengan otoritas pajak kedua negara.


6. Tantangan dan Best Practices

6.1 Klausul Anti‐Abuse (LOB)

Beberapa treaty mencantumkan LOB untuk mencegah treaty shopping. Contohnya, mitra baru seperti Luxembourg atau Cayman Islands menetapkan syarat kepemilikan saham langsung minimal 10–25% dan aktivitas ekonomi riil di negara domisili.

6.2 BEPS dan Multilateral Instrument (MLI)

MLI yang diinisiasi OECD telah diratifikasi Indonesia pada akhir 2024 dan mengubah beberapa ketentuan:

  • Penguatan definisi PE
  • Standar minimum negara untuk pertukaran informasi otomatis (AEoI)
  • Mekanisme MAP yang dipercepat

6.3 Koordinasi Internal

Bentuk tim fiskal lintas fungsi keuangan, legal, operasional untuk menangani transaksi internasional dan memastikan pemenuhan syarat treaty.

6.4 Pemantauan Pembaruan

Rutin pantau situs resmi DJP dan OECD untuk setiap KMK baru atau protokol amandemen. Kebijakan negara mitra juga berubah, sehingga wajib pajak harus adaptif.


7. Contoh Kasus Terapan

7.1 Royalti IP dari Amerika Serikat

PT Kreatif Indonesia membayar royalti merek dagang kepada perusahaan AS sebesar USD 100.000. Tanpa treaty: WHT AS 30% → USD 30.000.
Dengan Indonesia–AS Treaty (1990, revisi 2020): tarif royalti 8% → USD 8.000.
– PT Kreatif Indonesia mengklaim tax credit USD 8.000 dalam SPT PPh Badan di Indonesia.
– Penghematan pajak: USD 22.000.

7.2 Jasa Konsultasi di Malaysia

Perusahaan konsultan Indonesia membuka kantor perwakilan di Kuala Lumpur. Karena durasi proyek 9 bulan (< 12 bulan), tidak memenuhi kriteria PE.
– Profits dibebaskan dari pajak Malaysia.
– Penghasilan dilaporkan penuh di Indonesia, dengan pencegahan pajak berganda melalui exemption method.


8. Manfaat Strategis bagi Bisnis

  1. Efisiensi Biaya Pajak
    Menurunkan tarif WHT dan memanfaatkan kredit pajak.
  2. Kepastian Hukum
    Mencegah audit dan sengketa karena aturan perjanjian jelas.
  3. Daya Saing Global
    Struktur investasi yang optimal mendukung ekspansi lintas pasar.
  4. Reputasi & Kepercayaan
    Kepatuhan terhadap treaty meningkatkan kredibilitas di mata investor dan mitra bisnis.

Tax treaty adalah instrumen penting untuk menghindari pajak berganda, mendistribusikan hak pemajakan secara adil, dan memperkuat kerjasama administrasi perpajakan internasional. Bagi praktik di Indonesia, pemahaman menyeluruh atas struktur perjanjian, metode kredit vs exemption, prosedur klaim, serta tantangan anti‐abuse dan BEPS akan membantu wajib pajak merancang transaksi lintas batas yang efisien dan patuh. Dengan jaringan treaty yang terus bertambah dan protokol yang diperbarui, pelaku usaha dapat meningkatkan kepastian hukum sekaligus meminimalkan beban fiskal global mereka.


Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*